Teks editorial adalah artikel utama yang ditulis oleh redaktur korang yang merupakan pandangan redaksi terhadap suatu peristiwa (berita) aktual (sedang menjadi sorotan), fenomenal, dan kontroversial (menimbulkan perbedaan pendapat).
2 Contoh Teks Editorial/Opini Tentang Olahraga
Di dalamnya terkandung fakta peristiwa sebagai bahan berita. Fakta ini ditelusuri keberannya dengan berbagai strategi. Hal ini dimaksudkan agar berita itu benar adanya sehingga terpercaya, bukan sebagai gosip murahan. Di samping itu, harus diidentifikasi dan dipastikan apakah fakta peristiwa tersebut aktual atau hal biasa-biasa saja.
Artikel ini khusus membahas contoh teks editorial mengenai olahraga. Ada dua opsi jadi anda bisa memilih, mari disimak.
Pertandingan Liga 1 antara Persib Bandung vs Persija Jakarta belum berlangsung di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA). Tapi kerusuhan sudah terjadi di luar lapangan, Minggu (23/9/2018).
Haringga Sirla, sendirian memasuki halaman GBLA, ia ingin menonton pertandingan yang akan berlangsung. Meskipun tanpa atribut Persija-–kesebelasan yang didukungnya—para suporter Persib seperti punya indera keenam.
Mereka dengan instingnya bisa mengendus bahwa lelaki berbadan gempal itu adalah anggota Jakmania-–sebutan untuk suporter Persija. Selanjutnya para bobotoh–pendukung klub sepak bola Persib Bandung— tanpa komando mengeroyok Sirla.
Bila mencermati video yang beredar di media sosial, tidak ada kata yang pantas untuk menyebut pengeroyokan tersebut selain dengan kata biadab.
Seorang tak bersenjata, tak pula diketahui kesalahannya, dihajar beramai-ramai oleh puluhan orang dengan tangan kosong, kayu maupun benda lainnya. Sirla tewas mengenaskan.
Apakah pertandingan dibatalkan karena insiden tersebut? Ternyata tidak. Pertandingan tetap berlangsung seperti apa adanya, tanpa kendala. Persib memang akhirnya menang 3 – 2 melawan Persija.
Tapi apalah arti nilai kemenangan itu bila dibanding dengan nyawa Sirla. Pada kehidupan masyarakat yang beradab, pastilah nyawa lebih bernilai ketimbang skor olah raga yang menjunjung tinggi sportivitas.
Polres Kota Bandung menangkap 16 orang atas insiden tersebut. Sebanyak 8 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Memang penyelesaian insiden ini seperti penanganan kasus kriminal biasa: Pengeroyokan yang mengakibatkan kematian.
Bila menyimak data angka kematian suporter bola, sebenarnya tidak layak untuk disebut biasa. Menurut catatan Bolalob, sejak 1995-2017 sebanyak 57 suporter bola di Indonesia tewas.
Kematian mereka ada yang karena kecelakaan, terimpit penonton, sampai jatuh dari kendaraan. Namun yang terbanyak adalah akibat pengeroyokan oleh suporter lawan.
Sementara Detikcom, mencatat akibat rivalitas fanatisme suporter Persija dan Persib telah memakan korban 7 orang meninggal. Data itu dicatat sejak 2012 hingga tewasnya Sirla.
Jatuhnya korban meninggal dalam rivalitas suporter bola tentu tidak bisa dianggap enteng. Kehadiran suporter dibutuhkan oleh PSSI, klub bola maupun panitia penyelenggara pertandingan.
Mereka tidak hanya memberikan motivasi bagi klub untuk memenangi pertandingan, namun juga menjadi media daring untuk menyebarkan berbagai publikasi klub.
Bagi panitia penyelenggara, suporter bukan hanya pembeli karcis, tapi mereka adalah kerumunan yang bisa dimonetasi untuk menghadirkan sponsor pertandingan.
Maka tidak heran, bila suporter bola diwadahi dalam aneka bentuk komunitas, bahkan ada yang dalam organisasi. Artinya bila terjadi kerusuhan, apalagi menyangkut nyawa, tidak seharusnya hanya suporter secara pribadi yang mesti bertanggung jawab.
PT Liga Indonesia Baru (LIB) penyelenggara kompetisi Go-Jek Liga 1 musim 2018, sesungguhnya sudah membuat regulasi. Fairplay, Respect, Discipline, dan Unity, menjadi visi regulasi ini. Namun sayangnya, insiden suporter hingga mengakibatkan nyawa melayang tidak disebut dengan tegas.
Sejauh mana tanggung jawab klub atas ulah penontonnya, dijelaskan dalam regulasi ini. Pasal 4, butir 2, menyebutkan klub bertanggung jawab terhadap tingkah laku dari Pemain, Ofisial, personel, penonton dan setiap orang yang terkait dengan klub tersebut selama penyelenggaraan Liga 1.
Sedang pasal 3: Klub tuan rumah bertanggung jawab untuk menjamin keamanan dan kenyamanan sebelum, pada saat, dan setelah berlangsungnya pertandingan.
Klub tuan rumah dapat dijatuhi sanksi sesuai dengan Kode Disiplin PSSI apabila terjadi segala bentuk insiden dalam pertandingan atau tidak terpenuhinya ketentuan-ketentuan keamanan yang berlaku.
Sementara pasal 70 Kode Disiplin PSSI selain mengatur tanggung jawab terhadap tingkah laku buruk penonton, juga menyangkut sanksi bagi para pihak.
Pasal 70 ayat 1 misalnya, menjabarkan hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan suporter dalam mendukung tim kebanggaan berlaga. Mulai dari kekerasan, yel-yel yang tidak nyaman di telinga, hingga penggunaan kembang api dan aksi nekat suporter yang memasuki lapangan pertandingan dengan jelas dilarang.
Sedangkan pasal 70 ayat 2-3 menuntut tanggung jawab klub pada perilaku buruk suporternya. Baik itu di kandang mereka sendiri, maupun di kandang lawan.
Sementara Pasal 70 ayat 4 mengatur tentang sanksi. Denda yang dikenakan sebesar Rp20-50 juta. Bahkan yang terberat dapat dilakukan penutupan sebagian atau bahkan keseluruhan tribun stadion dari suporter.
Kekerasan antarsuporter bola sudah selayaknya tidak dianggap kejadian biasa. Lalu seperti biasa pula, para suporter yang harus bertanggung jawab secara perorangan menghadapi ancaman pidana. Para pihak harus ikut bertanggung jawab dalam kasus kekerasan yang menyebabkan kematian ini.
PSSI, klub, panitia penyelenggara pertandingan, pimpinan suporter, harus duduk bersama, merumuskan regulasi agar bisa mengatasi persoalan tersebut. Menghindarkan hilangnya nyawa suporter sepak bola, harus menjadi poin penting.
Bila perlu sanksi skorsing terhadap klub, bahkan pembekuan klub bisa dijadikan ancaman hukuman. Apapun nyawa jauh lebih berharga dibanding skor kemenangan sebuah klub yang didukungnya.
sumber : https://beritagar.id/artikel/editorial/menimbang-nilai-nyawa-suporter-sepakbola
Tewasnya Haringga Sarila, pendukung Persija Jakarta, di tangan bobotoh merupakan korban tewas ke-63 di sepakbola Indonesia. Insiden ini bukan hanya soal rivalitas bobotoh dan The Jak. Rivalitas suporter di Indonesia secara umum memang sudah kelewat batas. Setiap tahun, kita seolah hanya menantikan kabar duka atas tewasnya suporter di sebuah pertandingan sepakbola.
Kekerasan suporter memang lahir dari kultur masyarakat Indonesia sendiri. Dalam kasus lain, kita sering membaca atau mendengar berita pencuri atau pengendara yang menabrak kemudian tewas dipukuli massa, tawuran antar pemuda, perisakan di media sosial karena salah berkicau, bahkan mencederai orang lain karena perbedaan keyakinan atau pendirian politik.
Dalam pengeroyokan-pengeroyokan tersebut, tak sedikit dari pelaku yang sebenarnya tidak tahu pasti duduk perkaranya, namun karena teriakan mayoritas lainnya, mereka bisa langsung bertindak sebuas-buasnya manusia. Mereka seolah punya pembenaran untuk menghakimi seseorang.
Dalam pengeroyokan korban-korban kekerasan suporter, ia dipukuli bahkan hingga tewas hanya karena ia seorang pendukung kesebelasan rival. Padahal, kita tidak tahu kehidupan sehari-hari korban tersebut. Sekarang bayangkan misalnya seseorang yang di kehidupan sehari-harinya tak punya satu pun musuh, namun harus meregang nyawa karena mendukung kesebelasan yang berbeda.
Situasi seperti ini bukan kesalahan satu pihak tertentu. Tragedi seperti ini adalah wajah buruk sepakbola Indonesia. Sisi gelap manusia Indonesia.
Rivalitas Harusnya Seperti Apa?
Tentu tidak ada aturan tertulis seorang suporter harus dan tidak harus melakukan sesuatu hal untuk mendukung kesebelasan pujaannya. Yang ada adalah batasan-batasan tertentu seorang suporter ketika mendukung. Kontak fisik tidak dibenarkan: aturan tersebut terikat lewat hukum pidana.
Rivalitas di luar negeri lebih aman dibanding di Indonesia. Korban meninggal di luar negeri bukannya tidak ada. Tapi untuk rivalitas di era modern seperti ini, tindakan-tindakan kriminal suporter bisa terminimalisasi karena tingkat keamanan lebih baik. Juga penegakan hukum pidana maupun hukum sepakbola yang tidak pandang bulu.
Para suporter luar negeri, yang paling barbar sekalipun, mereka lebih mengutamakan untuk meneror pemain lawan. Pemain lawan diteror agar tampil buruk sehingga tim yang didukung meraih kemenangan. Mereka tahu, tidak ada untung dan gunanya meneror apalagi bertikai dengan suporter lawan bagi kesebelasan yang didukung.
Berbanding terbalik dengan di Indonesia. Jika El Clasico adalah duel nasionalisme antara Spanyol vs Katalunya, atau Old Firm Derby sebagai permusuhan antara Kristen dan Protestan, atau Superclasico yang lahir karena “pertarungan” antara kelas bawah vs kelas atas; di Indonesia, rivalitas suporter terjadi karena hal sepele.
Rivalitas The Jak vs Bobotoh misalnya, seperti yang diceritakan pengamat sepakbola Bandung, Eko Noer, pada Pikiran Rakyat, rivalitas ini dimulai karena kesalahpahaman yang terjadi pada akhir 90-an. Ketika itu, bobotoh dan The Jak sama-sama kecewa karena tidak bisa menyaksikan laga Persib vs Persija di Stadion Siliwangi, Bandung.
Keduanya bentrok karena bobotoh kecewa ada The Jak yang bisa masuk stadion, sementara The Jak kecewa sudah datang jauh-jauh tapi tidak bisa masuk stadion. Insiden ini berlanjut dan semakin membesar karena adanya saling balas pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, apalagi setelah memakan korban jiwa. Setelah itu segalanya menjadi semakin kusut untuk diurai.
Randy Aprialdi yang mengamati kultur suporter luar negeri menyebut bahwa rivalitas di Indonesia terlampau barbar. Tidak ada pengeroyokan seorang suporter luar negeri yang tewas oleh suporter lawannya. Hanya sebatas sampai terjatuh dan tak berdaya. Di Indonesia, suporter yang kehilangan nyawa biasanya dipukuli oleh banyak orang (bukan 1 lawan 1) bahkan tidak dengan tangan kosong.
Di sinilah letak perbedaan rivalitas suporter di Indonesia dan di luar negeri. Di Indonesia oleh hal-hal sepele seperti saling ejek, salah paham, atau sekadar tidak menerima kekalahan. Di luar negeri, rivalitas lahir karena perbedaan ideologi, dampak budaya, lingkungan sosial, hingga dampak peperangan di masa lalu.
Sudah Seperti Ini, Sekarang Bagaimana?
Federasi sepakbola dan pemerintah sudah terbukti tidak bisa mengatasi masalah kekerasan suporter ini. Saat ada korban suporter melayang, kita akan kembali mengingat masalah di masa lalu yang belum terusut tuntas. Contohnya, ketika Haringga sudah tak bernyawa saat ini, kasus Banu Rusman (suporter Persita) yang menjadi korban meninggal bentrokan dengan “suporter” PSMS pada 2017 lalu masih mengambang tak jelas.
Pelaku yang menghilangkan nyawa diadili saja tidak cukup. Hukuman PSSI terhadap suporter tidak pernah memberikan efek jera. Efek jera apa yang bisa diharapkan dari hukuman “dilarang datang ke stadion dengan atribut” atau “suporter dilarang ke stadion yang boleh adalah penonton umum”?
PSSI tersandera oleh kegagalannya bertindak waras dan adil di masa lalu. Jika mereka hendak bertindak tegas dan berani, mereka mudah diserang oleh ketidakbecusannya di waktu-waktu sebelumnya. Bisa dibayangkan jika kali ini PSSI bertindak tegas, misalnya menghukum Persib, akan muncul pertanyaan: “Kenapa baru sekarang? Kenapa waktu suporter anu membunuh hukumannya gak kayak gini?”
Belum lagi potensi plin-plan di masa depan jika terulang kasus serupa yang dilakukan kesebelasan atau suporter lain. Ketidaklegowoan suporter saat dihukum oleh PSSI salah satunya dipicu oleh tidak seriusnya penegakan hukum oleh PSSI.
Kendati demikian, PSSI tidak punya pilihan kali ini. Tidak bisa tidak, rantai kekerasan di antara suporter Persib dan Persija ini mesti diputus. Dan karena perseteruan ini sudah sangat akut, tidak sesederhana Viking vs Jakmania, melainkan sudah menjadi ribuan orang vs ribuan orang (pendeknya: suporter di akar rumput), terobosan yang luar biasa harus dilakukan oleh PSSI, bahkan mungkin kepolisian dan pemerintah.
Sangat mungkin terobosan itu tidak memuaskan semua kelompok. Bisa saja terobosan yang diambil itu dinilai tidak adil bagi semua kalangan. Tidak apa-apa. Yang penting adalah: terobosan itu harus efektif memutus mata rantai kekerasan yang sudah kelewatan berdarah-darah ini.
sumber : https://www.panditfootball.com/editorial/211966/ANS/180924/tentang-haringga-dan-keganasan-suporter-di-indonesia