 |
Sumber : Google |
Ketika Islam berkembang di kepulauan Indonesia, para muballigh Walisongo melakukannya dengan pendekatan tradisi, kultural dan tasawuf. Islam yang dibawa oleh para da’i tersebut bercorak Sunni Syafi’i. Ternyata pendekatan ini berhasil. Prosesnya berlangsung secara gradual dan bertahap mampu mengislamkan kepulauan Nusantara, hingga zaman itu berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang menerapkan hukum Islam berdasarkan madzhab Syafi’i.
Namun kini, jika mencermati dakwah Syiah, mereka sedang mencari pijakan dengan memanfaatkan isu tradisi, kultur serta tasawuf ini. Buku berjudul Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara (Dicky Sofjan: 2012) diterbitkan Sekolah Pascasarjana UGM setidaknya menjelaskan upaya serius Syiah itu dalam klaim tradisi dan budaya itu. Dulu, lini ini menjadi benteng da’i Ahlussunnah melalui Walisongo, belakang wilayah tersebut akan ‘direbut’ Syiah. Maka, di sinilah kita perlu mencermatinya.
Para Walisongo yang mengislamkan Indonesia itu adalah keturunan Arab dari bani Alawiyyin. Islamisasi dilakukan dengan penyatuan dengan pribumi. Metode dakwah bani Alawiyyin ini dalam menyatu dengan pribumi sangat efektif dalam mengislamkan kepulauan Nusantara. Hamid al-Ghadri berpendapat, bahwa raja-raja Islam atau sultan di kepulauan Nusantara zaman dahulu banyak yang keturunan bani Alawiyyin karena hubungan keturunan Arab dan pribumi telah menyatu selama berabad-abab sebelumnya.
Adalah para muballigh Walisongo yang menjadi pelopor akulturasi antara ras Arab dan pribumi. Tradisi tersebut diwarisi turun-temurun hingga era kejayaan kerajaan Islam. Sebagai contoh, keluarga Kesultanan Pontianak memakai marga al-Qadri, yang tidak lain marga keturunan Arab dari kalangan habaib. Di Riau terdapat kesultanan Siak yang keluarga kesultanannya bermarga bin Shahab. Juga marga kalangan habaib. Begitu pula, kesultanan-kesultanan lainnya misalnya Cirebon, Banten, Demak, Jepara dan lain-lain. Jika dibaca dari sejarah berdirinya, kesultanan-kesultanan tersebut berdiri tidak dengan kekuatan senjata (Hamid al-Ghadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah, hal.39).
Bahkan menurut Hamid al-Ghadri, karena begitu lama dan dalamnya penyatuan itu, zaman sebelum penjajahan keturunan Arab disebut juga pribumi. Tapi tidak pernah Cina atau India disebut pribumi. Meskipun sama-sama sudah hadir di Nusantara.
Belum pernah pula terjadi peperangan keturunan Arab bani Alawiyyin dengan penduduk lokal pribumi. Jika di Jawa mereka tak segan memakai pakaian adat jawa, blankon, batik dan lain-lain. Begitu pula daerah-derah lainnya. Sebaliknya, dahulu pernah terjadi peperangan-peperangan kecil antara pribmi dan orang Cina. Seperti yang pernah terjadi di Surabaya dan Pasuruan pada zaman penjajahan Belanda. Biasanya perang kecil itu diletup karena kecemburuan pribumi terhadap Cina, dimana Cina mendapatkan perlakukan ‘khusus’ dari penjajah Belanda.
Pendekatan yang digunakan muballigh Sunni itu menunjukkan, bahwa Islamisasi kepulauan Nusantara dilakukan dengan cara yang efektif dan damai. Seperti mereka melakukannya dengan mengislamkan terma-terma atau bahasa yang digunakan. Prof. Syed Naquib al-Attas mengatakan Islam datang ke Nusantara yang dibawa langsung dari Hadramaut telah mengubah pandangan hidup masyarakat secara kuat melalui bahasa.
Bahasa Melayu yang menjadi bahasa pemersatu Muslim kepulauan Nusantara zaman dahulu banyak menyerap dari istilah-istilah bahasa Arab. Misalnya, kata akal, musyawarah, mukadimah, adil, adab, dan lain-lain. Dikenal pula di sini jenis tulisan Arab-Melayu yang sering disebut tulisan Pegon(pego). Jenis tulisan ini populer di pesantren tradisional yang diajarkan berabad-abad lamanya, sejak kedatangan Islam. Namun, sayang jenis tulisan ini tidak lagi populer di Indonesia – hanya dikenal oleh anak-anak Pesantren.
Barangkali sukeses besar itu dapat dipahami karena karakter kaum bani Alawiyyin dari Hadramaut zaman itu memang petualang, berakhlak luhur dan mudah menyatu dengan penduduk asli. Dan nyatanya, pendekatan akhlak dan tasawuf tersebut sangat diminati penduduk kepulauan Nusantara. Leluhur mereka, yaitu Ahmad bin Isa al-Muhajir, mengajarkan akhlak dan tasawuf
Ahmad al-Muhajir asalnya dari Basrah Irak kemudian pada abad ke-10 M hijrah ke Hadramaut karena menghindar gejolak fitnah yang tidak pernah padam di Irak, diantaranya fitnah kaum Qaramithah – sebuah sekte Syiah Ismialiyah yang dikenal kejam dalam membunuh. Dalam hal ini al-Syilli menulis: “Berkat hijrah tersebut selamatlah keturunan Imam Ahmad bin Isa dari berbagai bid’ah dan kegelapannnya serta dari kecenderungan untuk mengikuti Rafidhah yang telah merusak warga Irak (Novel bin Muhammad Alaydrus,Jalan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi, hal. 36).
Al-Syilli juga memberi kesaksian bahwa Ahmad bin Isa ini di Hadramaut mengajarkan madzhab Syafi’iyah kepada anak keturunannya. Di Hadramaut beliau diterima dengan baik oleh penduduk asli dengan menjarkan akhlak yang luhur dan tasawuf.
Dari keturunan Ahmad al-Muhajir ini menurunkan banyak muballigh yang menyebarkan Islam ke India, Afrika dan Asia Tenggara. Di antarnya adalah Abdul Malik – keturunan ke-7 Ahmad al-Muhajir yang menetap di India. Abdul Malik inilah yang menurunkan leluhur Walisongo, seperti Syaikh Jumadil Kubro (Ibrahim Zain al-Akbar) yang merupakan keturunan dari Abdul Malik.
Di India, Abdul Malik juga menurunkan raja-raja Muslim India seperti sultan Syah Jiha, sultan Ibrahim Adil Syah, sultan Mahmud bin Ibrahim Syah, Amir Habas Khan dan lain-lain. Semua nasab sultan ini sambung kepada kerabat-kerabat kaum Alawiyin keturunan Abdul Malik (Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal. 152).
Hal ini menunjukkan bahwa, di mana-mana muballigh dari kaum Alawiyyin ini tidak menemui kesulitan dalam menyatu dengan pribumi. Dan semua gerak dakwah dan pendirian kerajaan tidak didahului oleh peperangan. Sampai saat ini di provinsi Kerala India Selatan masih banyak ditemui keturunan habaib, dan tradisi Sunni-Syafi’i masih dipelihara dengan baik oleh komunitas Muslim di sana. Bahkan di provinsi ini 90 % menganut madzhab Syafi’i. Ini berkat jasa Abdul Malik, yang menjadi benteng pertama Ahlussunnah di India.
Jika di India terdapat Abdul Malik, maka di Indonesia teradapa Syaikh Ibrahim Zain al-Akbar – yaitu ayah dari Sunan Ampel. Syaikh al-Akbar mewarisi corak dakwah leluhur bani Alawiyyin yakni dengan pendekatan tasawuf dan akhlak dengan mendekati kaum pribumi dengan tetap mempertahankan pandangan hidup madzhab Sunni Syafi’i.
Islamisasi dengan pendekatan tersebut menghasilkan dakwah yang luar biasa. Selama berabad-abad sejak kerajaan Demak dan di sebagian besar wilayah Indonesia diterapkan hukum Islam. Baru sampai abad ke-19 syariat Islam itu dihapus oleh penjajah Belanda.
Di paruh awal penjajahan, VOC masih mengakui syariat Islam untuk kaum Muslimin di Jawa. Eksistensi hukum Islam diakui undang-undang Belanda seperti tercantum dalam Pasal 75 R.R (Regeringsreglement) 1855:2 ayat 2 disebutkan, “oleh hakim Indonesia hendaklah diperlakukan undang-undang agama (Goldsdientstigewetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu. Kemudian ayat 4 berbunyi, “undang-undang agama, instelling dan kebiasaan itu jugalah yang dipakai untuk mereka” (Artawijaya,Dilema Mayoritas, hal. 275).
Pada tahun 1882 di Jawa Madura dibentuk pengadilan Agama yang memiliki wewenang mengatur hukum Islam untuk kaum Muslimin wilayah itu. pengadilan agama ini masih diakui oleh Belanda.
Hukum Islam di kepulauan Indonesia telah berjalan berabad-abad lamanya. Ketika Kerajaan Mataram berkuasa di seluruh wilayah Jawa, kaum Muslimin menjadikan hukum Islam sebagai hukum adatnya. Karena telah lama berjalan berabad-abad lamanya, dahulu yang disebut hukum adat tidak lain adalah hukum Islam. Baru abad ke-19 Belanda melarang kaum Muslimin menerapkan syariat Agama kecuali untuk beberapa amalan saja. Kemudian Belanda membedakan antara hukum adat dan hukum agama.
Islam Sunni mengakar kuat berabad-abad lamanya sehingga meskipun Belanda menjajah selama 350 tahun. Jadi, dakwah muballigh Ahlussunnah di kepulauan Nusantara terbukti berhasil. Yang perlu diambil pelajarannya untuk konteks sekarang adalah, umat Ahlussunnah perlu ‘menyelamatkan’ pos-pos penting seperti tradisi dan tasawuf. Sebab pos inilah yang menjadi benteng Ahlussunnah di Nusantara.
Kenyataannya, tradisi yang telah diislamkan muballigh itu menjadi lebih diterima. Dan, tradisi yang telah diislamkan itu justru untuk membentengi Ahlussunnah, dari Syiah atau aliran lainnya. Maka, pendekatan dakwah Ahlussunnah perlu dikembangkan pada ranah tradisi dan tasawuf.
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo Kota Gresik Jawa Timur. Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior di antara para Walisongo lainnya.
Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kebaikan yang dibawa oleh agama Islam.
Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam. Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam.
2. Sunan Ampel
Dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya. Ia disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Ia menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
3. Sunan Bonang
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465 M, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di Kabupaten Rembang. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura.
Sang murid sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
4. Sunan Drajat
Dia juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam.
Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
5. Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih,Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra.
Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik. Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putrid Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa ayahandanya untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu, Lalu Dewi Sekardadu dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini.
Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra. Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini di Surabaya) untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu.
Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
6. Sunan Kudus
Nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa.
Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
7. Sunan Kalijaga
Nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak. Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. T
embang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
8. Sunan Muria
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putrid Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.
9. Sunan Gunung Jati
Nama aslinya Syarif Hidayatullah, adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja.
Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.